Dari khalifah Umar bin Khathab ra, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung
kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.
Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka ia akan
mendapatkan pahala hijrah karena Allah dan Rasulullah. Barang siapa yang
hijrahnya karena faktor duniawi yang akan ia dapatkan atau karena
wanita yang akan ia nikahi, maka ia dalam hijrahnya itu ia hanya akan
mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR Bukhari-Muslim)
Setiap amal
bergantung kepada niatnya. Yup, benar banget. Niatnya pun kudu ikhlas
karena ingin mengharap keridhoan Allah Swt. semata. Hmm.. kudu ikhlas
ya? Waduh, kayaknya kata itu buat kita jadi makin asing neh. Bukan
kenapa-kenapa, susah juga nemuin orang yang mau ikhlas di jaman
sekarang. Segalanya diukur dengan duit, dengan harta benda, ketenaran,
cari muka dan sejenisnya. Iya, maksudnya kalo kita mau nolong orang
kadang yang kepikiran: nih orang mau ngehargai gue nggak sih; orang ini
kalo gue bantu mau balas jasa nggak ke gue; kalo gue menolong dia nama
gue harum nggak sih; kalo gue nolong orang ini, kira-kira berapa gue
dibayar; dan seabreg pikirin lainnya yang ujungnya itung-itungan deh.
Bro
en Sis, secara teori udah banyak orang yang jelasin. Seperti kata teori
pula, kayaknya gampang untuk bisa ikhlas. Tapi praktiknya, duh kita
bisa rasakan sendiri gimana susahnya jaga hati dan jaga pikiran biar
ikhlas kita nggak ternoda. Soalnya, ada aja celah yang bisa bikin kita
melenceng dari niat awal dalam berbuat. Awalnya sih insya Allah bakalan
ikhlas, eh nggak tahunya di tengah jalan ada yang godain kita supaya
nggak ikhlas. Halah, gawat bener kan?
Sobat muda muslim, sekadar
ngingetin memori kita, dalam Islam ikhlas ternyata mendapat perhatian
khusus lho. Soalnya, ini erat kaitannya dengan amal perbuatan kita dan
keimanan kita kepada Allah Swt. Jangan sampe deh kita beramal
diniatkannya bukan karena perintah Allah Swt. atau bukan karena ingin
mendapat ridho Allah Swt. Kalo sampe diniatkan dalam beramal karena
ingin dipuji manusia gimana tuh? Duh, nggak tega deh saya nyebutinnya.
Soalnya, tuh amal nggak bakalan ada bekasnya alias nggak mendapat ridho
Allah Swt. Amal kita jadi sia-sia, Bro. Ih, nggak mau kan kita beramal
tapi nggak dapat pahala? Amit-amit deh!
Bro en Sis, ikhlas adalah
melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah
Ta ala semata. Allah Swt. dalam al-Quran menyuruh kita ikhlas, seperti
dalam firmanNya (yang artinya): “dan (aku telah diperintah):
"Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS Yunus [10] :105)
Rasulullah
saw, juga ngingetin kita melalui sabdanya (yang artinya), “Allah tidak
menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari
ridha Allah semata.” (HR Abu Daud dan Nasa’i)
Imam Ali bin Abu
Thalib r.a juga berkata, “orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan
pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.”
Bro, sekadar
tahu aja bahwa ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang
nggak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Firman Allah Swt
(yang artinya): Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS al-An’aam [6]:
162)
Allah Swt. juga berfirman dalam ayat lain (yang artinya),
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
(QS al-Bayyinah [98]: 5)
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat
kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan
sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka),
maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan
niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu nggak heran kalo
Ibnu Qayyim al-Jauziyah ngasih perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa
keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir.
Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau
menulis, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah
mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan,
maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Bro,
lawannya ikhlas itu adalah ujub dan riya’. Itulah sebabnya orang yang
sekaliber Umar bin Abdul ‘Aziz r.a. pun sangat takut akan penyakit
riya’. Ketika ia berceramah kemudian muncul rasa takut dan penyakit
ujub, segera ia memotong ucapannya. Dan ketika menulis karya tulis dan
takut ujub, maka segera merobeknya. Subhanallah!
Al-Fudhail bin
‘Iyadh mengomentari ayat kedua dari surat al-Mulk (liyabluwakum ayyukum
ahsanu ‘amalaa), bahwa maksud dari amal yang ihsan (paling baik) adalah
amal yang akhlash (paling ikhlas) dan yang ashwab (paling benar). Ada
dua syarat diterimanya amal ibadah manusia, ikhlas dan benar. Amal
perbuatan, termasuk ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah
semata tetapi pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka
amal tersebut tidak akan diterima Allah. Begitu juga sebaliknya, jika
perbuatan dan ibadah dilakukan sesuai dengan syariat, tetapi yang
melaksanakannya tidak semata-mata ikhlas karena Allah, maka amalnya
tidak diterima.
Ikhlaskah kita?
Ikhlaskah kita jika beramal
tapi ngarepin imbalan materi? Ah, kamu pasti bisa menilai sendiri deh.
Iyalah. Misalnya nih, kalo ortu kamu minta tolong sama kamu untuk
belanja kebutuhan dapur ke warung dekat rumah, kemudian kamu minta
imbalan ke ortu kamu, ati-ati lho. Itu bisa termasuk nggak ikhlas kamu
berbuat. Sebaiknya lurus-lurus aja. Nggak ngerasa ada ruginya alias
nothing to lose, gitu lho. Mau dapet materi apa nggak dari apa yang kita
usahain, kita nggak peduli. Nolong aja. Apalagi itu sama ortu. Jangan
sampe deh ketika ortu minta tolong, eh kita malah pake tarif segala:
Jauh-dekat Rp 2000 (idih, emangnya naik angkot!).
Bro, kalo
kebetulan kamu ditunjuk jadi ketua OSIS atau ketua Rohis, nggak usah
ngarepin materi dari jabatan yang kamu sandang. Kalo kamu beranggapan
bahwa dengan menjadi ketua OSIS kamu bakalan bisa dengan mudah narikin
iuran dari siswa terus kamu bisa memperkaya diri, wah itu namanya bukan
cuma nggak ikhlas tapi udah melakukan penyalahgunaan jabatan.
Bro,
meski kita nggak ngarepin imbalan secara materi, tapi yakin deh bahwa
apa yang kita lakukan pasti mendapat ganjaran kebaikan lain di sisi
Allah Swt. Jadi, nothing to worry about alias nggak perlu cemas dengan
jaminan kebaikan dalam bentuk lain yang Allah berikan sebagai ‘imbalan’
atas keikhlasan kita. Intinya sih, jangan ngarepin imbalan dari manusia,
cukup ridho dari Allah Ta’ala aja yang kita harepin. Setuju kan?
Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik ra., ia berkata: Aku
pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau mengenakan selendang dari
Najran yang kasar pinggirnya. Tiba-tiba seorang badui berpapasan dengan
beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat. Ketika aku memandang
ke sisi leher Rasulullah saw. ternyata pinggiran selendang telah
membekas di sana, karena kuatnya tarikan. Orang itu kemudian berkata:
Hai Muhammad, berikan aku sebagian dari harta Allah yang ada padamu.
Rasulullah saw. berpaling kepadanya, lalu tertawa dan memberikan suatu
pemberian kepadanya. (HR Muslim)
Subhanallah, Rasulullah saw.
malah memberikan harta (berinfak), padahal orang badui itu memintanya
dengan kasar. Tapi itulah Rasulullah saw. sudah mengajarkan kepada
umatnya bahwa beramal baik harus ikhlas dan tanpa pertimbangan
untung-rugi lagi. Hebat kan, Bro?
Oya, keikhlasan kita juga akan
diuji saat kita merasa ingin dilihat oleh orang lain, lho. Kalo mikirin
hawa nafsu sih, kadang kita kepikiran ya pengen dilihat oleh teman kita
ketika kita berbuat sesuatu. Ketika masukkin duit ke keropak di masjid,
kita bahkan kepengin banget diliatin ama temen di sebelah kita. Emang
sih, duitnya kita tutupi dengan tangan satunya saat masukkin ke keropak
yang diedarkan di masjid kalo ada acara di sana. Apalagi kalo sampe
terbersit di pikiran dan hati kita akan adanya decak kagum dari teman
yang ngeliat amal kita, “subhanallah ya, dia rajin shadaqahnya”. Duh,
itu bisa menodai amalan kita, Bro. Emang nggak mudah berbuat ikhlas ya.
Tapi bukan berarti nggak bisa dilakukan.
Saat tampil jadi imam
shalat, dan kebetulan bacaan al-Quran kita maknyus alias enak didengerin
sama jamaah lain, jangan sampe deh kita punya pikiran ingin dianggap
paling hebat. Apalagi kalo sampe diam-diam kita malah mengagumi diri
sendiri, “orang lain nggak ada yang bisa kayak saya. Mereka pantas
memilih saya jadi imam shalat”. Ah, ngeri deh. Ngeri kalo amalan kita
bakalan nguap begitu aja. Insya Allah cara shalatnya sih bener asal
ngikutin aturan yang udah ditetapkan dalam fiqih, tapi persoalan niat
yang ada di pikiran dan hati bisa merusak amalan baik kita. Bener lho.
Gara-gara nggak ikhlas, amal kita jadi sia-sia. Karena kita lebih
ngarepin agar diliat oleh orang daripada ingin diliat sama Allah Swt.
Bro
en Sis, emang sih kita bisa merasakan langsung kalo targetnya ingin
diliat orang. Begitu suara kita mengalun manis dan easy listening saat
mendendangkan nasyid terbaru dan kemudian para jamaah penonton konser
nasyid tingkat RT yang kita ikutin itu bersorak gembira dan
mengelu-elukan kita, pasti deh ada aja sedikit rasa jumawa en bangga
diri (gue gitu, lho!). Awalnya sih boleh-boleh aja kita merasa ingin
dihargai orang lain. Wajar kok. Tapi yang nggak wajar adalah kita merasa
harus memposisikan diri selalu ingin dihargai dan dihormati. Kalo nggak
dihargai ngambek dan kecewa. Nah, yang bisa merusak amal kita adalah
karena niat yang udah tercemar “ingin selalu diliat orang”. Padahal,
menjadi “dilihat orang” adalah efek samping, bukan tujuan kita dalam
berbuat/beramal. Orang yang sering tampil dimuka umum wajar atuh kalo
akhirnya dikenal. Tul nggak sih?
Muhasabah diri
Allah Swt.
berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Hasyr
[59]: 18)
Ayat ini merupakan isyarat untuk melakukan muhasabah
setelah amal berlalu. Karena itu Umar bin Khaththab ra berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab” (Ibnu Qudamah, Minhajul
Qashidin (terj.), hlm. 478)
Muhasabah di sini artinya senantiasa
memeriksa diri kita sendiri. Sudah sejauh mana sih yang kita raih dalam
beramal baik. Sudah banyak nggak pahala yang kita perbuat, atau
jangan-jangan malah sebaliknya kedurhakaan yang mengisi penuh
pundi-pundi amal yang bakalan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah?
Yuk,
kita bareng-bareng meningkatkan kualitas amalan kita dan memperbanyak
amal shaleh. Senantiasa ikhlas, bersabar, dan bersyukur kepada Allah
Swt. Nggak jamannya lagi mengingkari kelemahan kalo sejatinya kita emang
lemah dan nggak mampu. Juga nggak perlu malu mengakui kesalahan jika
memang kita salah. Jangan menyerang orang lain yang kita tuding sebagai
biang kesalahan kita, tapi kita melakukan interospeksi diri. Sebab, kita
hidup bersama orang lain. Dan kita memang saling membutuhkan satu sama
lain. Kita juga pasti butuh kepedulian dari orang lain (termasuk kita
sendiri harus peduli dengan orang lain). Itu sebabnya, kita harus ikhlas
menerima teguran dan nasihat dari teman kita. Jangan merasa terhina
jika dinasihati. Tapi sebaliknya, merasa diistimewakan karena selalu
diingatkan.
Nikmati dunia ini dengan cara yang benar dan tuntunan
yang sesuai ketetapan Allah Swt. dan RasulNya. Tak perlu khawatir,
karena semua yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita adalah demi
kebaikan kita. Tetaplah kita bersama Allah Swt. dan RasulNya. Jalani
hidup dengan ikhlas, insya Allah nikmat, bahagia, tanpa perlu merasa
was-was. Ikhlas menjadikan kita lebih terhormat di hadapan Allah Swt.,
juga menjadikan orang lain berusaha mencontoh pribadi kita yang baik.
Semoga, kita semua bisa menjadi hamba-hamba Allah Swt. yang senantiasa
ikhlas menghadapi berbagai kenyataan hidup sembari berdoa memohon ampun
dan pertolongan kepada Allah Swt. Kita muhasabah diri: seberapa
ikhlaskah kita? Hanya kita yang mampu menjawabnya. Mari kita selalu introspeksi diri!!!!!
sumber: fai.ummgl.ac.id
No comments:
Post a Comment